4 Tahun Jokowi, Berjaya di Infrastruktur tapi Loyo di Manufaktur


TEMPO.COJakarta - Sejumlah pihak mengingatkan agar pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi dan Jusuf Kalla tak larut dalam upaya menggenjot pembangunan infrastruktur yang dilakukan secara masif sepanjang empat tahun belakangan ini. Pasalnya, masih banyak aspek Nawacita lainnya yang belum optimal diimplementasikan, sementara waktu tersisa pemerintahan kurang dari satu tahun lamanya.
Dalam Nawacita yang disorongkan oleh Jokowi dan Jusuf Kalla dalam pemerintahannya 2014-2019 ini, setidaknya ada tiga program terkait ekonomi di dalamnya. Ketiga program itu tersebar di poin 3,6 dan 7. Poin pertama Nawacita yang terkait bidang ekonomi adalah: membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.
Adapun poin kedua adalah meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya. Sementara poin ketiga adalah mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.
Dalam pemerintahan Jokowi tak sedikit upaya perbaikan produktivitas melalui pembangunan infrastruktur dilakukan. Mulai dari jalan yang dibangun hingga mencapai 3.432 km, jalan tol 947 km, dan jembatan mencapai 39,798 km.
Tak hanya itu, ada sekitar 12 bandara yang telah selesai serta pemeliharaan dan pengembangan untuk lebih dari 400 bandara. Belum lagi jalan tol, pelabuhan, rel kereta api, irigasi, bendungan, embung, listrik dan sebagainya.
Staf Khusus Kepresidenan Bidang Ekonomi Ahmad Erani Yustika menyebutkan pembangunan infrastruktur digenjot di wilayah Indonesia bagian timur dan perdesaan intinya tidak cuma menafkahi kebutuhan pertumbuhan. "Tetapi juga menyantuni mandat pemerataan," katanya.
Infrastruktur juga diyakini memiliki elastisitas tertinggi sebagai pengungkit investasi, yang pada gilirannya akan menyokong pertumbuhan ekonomi sampai 25-30 tahun ke depan. Jadi, sampai periode itulah pertumbuhan dapat disangga sehingga bisa dikatakan pemerintah tak hanya berpikir dalam jangka pendek atau menengah, tetapi juga memikirkan kepentingan jangka panjang. “Ini bakal menjadi standar kerja suatu pemerintahan,” kata Erani. 
Erani menambahkan, selama empat tahun belakangan ini pemerintah telah berupaya memperbaiki produktivitas rakyat di antaranya dengan melakukan 8 hal. Kedelapan hal itu adalah dengan menjaga daya beli masyakarat melalui inflasi rendah, restrukturisasi belanja negara dari belanja nonproduktif (BBM) ke belanja infrastruktur (belanja modal), memastikan realisasi dana desa sesuai target dan memberi beasiswa LPDP untuk perbaikan kualitas SDM.
Selain itu pemerintah menerapkan kebijakan BBM satu harga, peningkatan rasio elektrifikasi, meningkatkan peranan BUMN sebagai agent of development, serta menjamin akses lebih luas kepada golongan berpenghasilan kecil lewat lembaga mikro nelayan dan kartu tani. Dari sisi internal pemerintah juga melakukan deregulasi dan debirokratisasi sehingga dapat memperbaiki daya saing bangsa.
Hal itu, menurut Erani, mampu memperbaiki daya saing ekonomi, terbukti peringkat memulai usaha (cost of doing business) yang dirilis oleh Bank Dunia menunjukkan perbaikan. “Pada 2017, Indonesia sudah berada pada peringkat 72 dari posisi 120 pada 2014,” ujarnya.
Erani menjelaskan, dari sisi internal, pemerintah sudah melakukan deregulasi dan debirokratisasi, sehingga dapat memperbaiki daya saing bangsa. Sementara dari sisi eksternal, pemerintah sangat aktif dalam forum ekonomi internasional.
Lewat forum-forum itu pula, kata Erani, pemerintah dapat mengomunikasikan kondisi fundamental ekonomi nasional. “Lembaga dunia pun mengapresiasinya lewat peringkat utang dan investasi Indonesia yang semakin baik.”
Terkait dengan kemandirian ekonomi, Erani menjelaskan, pemerintah sudah berhasil menjaga defisit Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara jauh di bawah 3 persen dari Produk Domestik Bruto atau PDB. Rasio utang pun bergerak di bawah level yang masih aman. 
Tren perekonomian terus naik dengan angka pertumbuhan 5,01 persen di 2014 dan pada akhir tahun 2018 ini ditargetkan bisa mencapai 5,2 persen. Pertumbuhan ekonomi itu membaik itu karena sejak 2004 untuk pertama kalinya diiringi penurunan kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan sekaligus.
Pemerintah juga berupaya meningkatkan peran BUMN dalam pembiayaan perekonomian sehingga pilihan-pilihan dan sumber pembiayaan negara semakin beragam. “Yang terbaru adalah pemerintah sudah berhasil mengembalikan aset bangsa dari perusahaan multinasional, untuk dikelola oleh BUMN, seperti Freeport dan Blok Rokan,” kata Erani.
Meski begitu, sejumlah pihak masih mempertanyakan pencapaian Nawacita selama empat tahun Jokowi dan Jusuf Kalla menjalankan pemerintahan. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara menyayangkan pemerintahan Jokowi lebih fokus dalam menggenjot infrastruktur, namun industri manufakturnya loyo bahkan tumbuh hanya 3,9 persen pada kuartal II 2018.
Hal ini, menurut Bhima, yang kemudian memicu defisit transaksi berjalan adalah tingginya defisit neraca perdagangan akibat lonjakan impor akibat tingginya impor bahan baku dan barang modal. Impor terpaksa dilakukan karena struktur industri nasional yang belum diperbaiki
Sementara itu Sosiolog Universitas Gadjah Mada Arie Sujito menyoroti pemerataan dan keberlanjutan dalam mengelola sumber daya. Sebab, sejauh ini, ia menilai implementasi pembangunan infrastruktur yang masif sudah dinikmati oleh kalangan atas.
Pekerjaan besarnya adalah mendorong pemanfaatan yang lebih besar bagi kelompok menengah ke bawah sehingga menggerakkan ekonomi mereka. "Capaian-capaian Nawacita berhasil, tapi birokrasi kita tidak sepenuhnya mampu mendorong ke sana. Banyak ide-ide brilian yang belum berhasil diperjuangkan," kata Arie.
Saat ini, menurut Arie, masih ada pekerjaan rumah besar pemerintah selanjutnya. Salah satunya adalah memastikan negoisasi divestasi saham PT Freeport Indonesia oleh pemerintah bisa berdampak langsung kepada kepentingan nasional dan masyarakat Papua.
Sementara itu, Direktur Center of Reform on Economics atau CORE Indonesia M. Faisal menilai masih ada banyak kelemahan dalam program pengentasan kemiskinan, terutama dalam hal peningkatan daya beli.
Langkah pemerintahan Jokowi yang justru mencabut subsidi BBM di awal masa pemerintahan, menurut Faisal, berdampak pada inflasi dan menggerus daya beli masyarakat. “Baru dalam satu tahun terakhir pemerintah meningkatkan program2 bantuan sosial dan subsidi secara masif,” ucap Faisal pada Tempo.
Selain itu, yang paling penting dalam pengentasan kemiskinan adalah penciptaan lapangan kerja dan di sini letak kelemahan utamanya. “Selama tiga tahun pertama memang terjadi pertumbuhan lapangan kerja sebanyak 10 juta jiwa lebih, tapi semuanya adalah lapangan kerja informal, lapangan kerja formal justru stagnan bahkan mengalami pengurangan,” tutur Faisal.
Sektor-sektor strategis kunci yang semestinya didorong justru selama 4 tahun terakhir terbengkalai, yakni sektor industri manufaktur yang justru menjadi penyumbang terbesar terhadap PDB dan salah satu penyumbang terbesar lapangan kerja. Sektor ini justru terus mengalami deindustrialisasi, sehingga wajar kalau pertumbuhan PDB pun tertahan di level 5 persen dan kinerja ekspor juga lemah karena lemahnya daya saing ekspor manufaktur.
Walhasil, di tahun ini Indonesia menghadapi defisit perdagangan yang melebar dan pelemahan nilai tukar, karena lemahnya fundamental ekonomi, khususnya di industri manufaktur. Upaya menahan laju impor juga akan sulit bila industri dalam negeri tidak berdaya saing kuat, artinya punya gap daya saing yang lebar dengan produk manufaktur dari luar.
Faisal menjelaskan, dalam membangun kemandirian di sektor strategis, yang penting adalah membangun struktur industri manufaktur yang dalam dan dengan value chain dan linkages yang kuat di dalam negeri. “Baik forward linkage maupun backward linkage,” tuturnya.
Kalau itu tidak dibangun, Faisal khawatir industri manufaktur akan makin tergantung pada bahan baku dan penolong dari luar. Sehingga tidak heran ketika ingin mendorong industri di dalam negeri, maka akan diikuti dengan peningkatan impor bahan dan baku penolong. “Artinya bakal makin menekan neraca perdagangan dan transaksi berjalan,” ucapnya.
Nah, pada saat daya saing industri manufaktur lemah ini, menurut Faisal, maka penetrasi ekspor juga menjadi lemah. Meskipun pemerintah Jokowi dan Jusuf Kalla sudah mencoba untuk memperluas kerjasama pasar bebas dengan negara lain, tapi efektivitas dari strategi ini rendah karena permasalahan utama yaitu daya saing produk ekspor manufakturnya sendiri sudah kalah bersaing dengan kompetitor seperti Vietnam yang punya produk-produk ekspor andalan yang serupa dengan Indonesia.
Share:

Recent Posts